Sabtu, 26 Februari 2011

Sejarah Gereja

Saturday, August 14, 2010, 03:12 - Sejarah Posted by Administrator
ROMO VOOGEL SJ

Dalam sejarah misi Katolik di Jawa, sejak tahun 1865 tercatat dua orang anak bernama Yoseph dan Sanisa dipermandikan di Magelang. Namun jangan dibayangkan kalau permandian itu dilakukan di sebuah gereja yang megah seperti gereja Ignatius sekarang ini. Sebab, baru pada tahun 1890 tanah yang kemudian menjadi komplek gereja ini dibeli oleh Romo F.VOOGEL, SJ. Kebetulan di atas tanah itu sudah ada suatu bangunan yang untuk sementara dijadikan tempat peribadatan.

Pembangunan gerejanya sendiri baru tercatat dilakukan pada tanggal 31 Juli 1899. Setahun kemudian, pada 22 Agustus 1890, sudah dapat digunakan untuk mempersembahkan misa kudus. Sedangkan pemberkatan gedung secara meriah pada 30 September 1900, dalam misa konselebrasi yang dipimpin Romo Mgr.LUYPEN,SJ dari Batavia, denagn didampingi oleh Romo MUTZAER SJ dari Cirebon, Romo ASSELBERGS,SJ dari Jogya, Romo FISHER dan ROMO HEUVEL dari Magelang. Sedangkan Romo F. VOOGEL, SJ justru tidak bisa hadir, karena sakit dan harus kembali ke Belanda.

Selain itu juga hadir Residen Kedu, petinggi militer Belanda di antaranya Kolonel Van der DUSSEN, tokoh-tokoh masyarakat Cina, dan tokoh-tokoh pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat Magelang tidak terbatas pada umat Katholik saja.

Saat bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913, ketika seorang anak Jawa bernama Soewini (14) dipermandikan dengan nama Margaretha. Kemudian menyusul Maria Moerjati, dan selanjutnya disusul lagi oleh 12 siswa HIS (kini SDK Pendowo). salah satunya bapak Sangkrip dari Juritan/ Wilayah Paulus. Bertambahnya masyarakat Jawa memeluk agama Katholik ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan dengan tinta emas, di antaranya Romo VAN LITH, SJ dan Romo J. HOVENAARS, SJ.

Perkembangan yang menggembirakan itu memunculkan pemikiran untuk memperluas gereja. Pada tanggal 15 Agustus 1926, perluasan dimulai dengan menambah dua sayap di kanan kiri induk bangunan, masing-masing selebar 3,5 meter. Keluarga ORIE yang kala itu tinggal di Belanda, menyumbang permadani untuk memperindah tampilan gereja.

Mulai tahun 1933, setiap hari minggu seusai misa siang, ada khotbah dan pelajaran agama yang disampaikan dalam bahasa Jawa oleh para Katekis. Sebagian besar para Katekis itu adalah siswa - siswa Perguruan Muntilan, hasil didikan Romo VAN LITH, SJ.



BENTURAN-BENTURAN PADA MASA REVOLUSI FISIK.


Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang berdampak pilu bagi kehidupan Gereja, khususnya di Magelang. Pastur-pastur berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp interniran. Penggunaan bahasa Belanda dilarang. Kehidupan gereja semakin dirundung sendu dengan meninggalnya Rama SONDAAL SJ.

Walaupun Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan Republik Indonesia yang merdeka pada 1945 diakui kedaulatannya, namun nasib baik belum berpihak kepada Gereja. Pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, dan digunakan sebagai markas mereka. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945, sebuah drama berdarah berbau fitnah menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang. Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder, dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang yang memancing di air keruh. Sepuluh orang ini dibawa dan dibunuh di kuburan Giriloyo Magelang. Tiga tahun kemudian peristiwa pembunuhan kembali terjadi. Romo SANDJAJA, Pr , yang saat itu dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H. BOUWENS, SJ. diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.


LANGKAH MENUJU HARI CERAH

Warna kehidupan umat Katolik dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar juga menunjukkan perkembangan yang baik. Khusus di Magelang, hal ini tak lepas dari upaya gigih Romo TH HARDJOWASITO, Pr. dan Romo VAN HEUSDEN, SJ, yang berhasil menjalin hubungan yang baik antara gereja dengan masyarakat. Saat itu masyarakat Kampung Kauman dan sekitarnya, tak seorang pun yang tidak mengenal kedua Romo ini. Mereka menganggap dan merasa Gereja Ignatius Magelang merupakan salah satu bagian kehidupan mereka.

Nuansa keterbukaan dan keakraban ini semakin mekar berkembang setelah era Konsili Vatikan II. Justru ketika suasana panas melanda kehidupan masyarakat Indonesia menjelang dan setelah peristiwa Pengkhianatan G-30-S/PKI meletus (1965), rasa persatuan umat Katolik dengan orang-orang Kampung Kauman semakin mengkristal. Dalam suasana kehidupan yang diwarnai saling curiga terhadap pihak-pihak yang tak sealiran, umat Islam dan Katolik, yang terwakili oleh Pemuda Kauman dan Angkatan Muda Katolik Magelang, lebih mengencangkan hubungan dengan baik. Demi menjaga keamanan, gedung AMKRI Magelang dijadikan "posko" bersama. Dalam suasana yang semakin kondusif, umat Katolik Magelang bersama hirarki mulai memikirkan sarana peribadatan agar semakin memadai, salah satunya adalah renovasi gedung Gereja. Pada tanggal 1 Agustus 1962, dimulailah renovasi gereja dengan perencana dan pelaksananya dari kota Semarang.

Gedung yang semula bergaya Gothik dirombak total menjadi gaya yang sama sekali baru. Beberapa dari bagian gedung lama masih difungsikan sampai sekarang, di antaranya : jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja. Dana pembangunan diperoleh dari Keuskupan Agung Semarang, dari para donatur dan partisipasi umat melalui kolekte, dan juga uang saku pribadi Romo VAN HEUSDEN, SJ. Pembangunan renovasi gereja selesai dalam waktu sekitar tiga tahun.


KEMBANG MEKAR DI TANGAN TUHAN

Renovasi gereja sejalan dengan munculnya keinginan dari banyak orang yang menyatakan diri ingin dibaptis. Menyikapi hal ini, diadakan kursus katekis untuk mempersiapkan guru-guru agama dan karya pewartaan lainnya. Demikian pula pelayanan dalam pendidikan formal dengan mendirikan SDK Prontakan ( kini sudah tidak ada lagi ), serta sekolah-sekolah yang dikelola oleh suster-suster Tarekat Santa Perawan Maria di Dekil Magelang Utara.

Upaya ini semakin menambah jumlah umat yang untuk sementara berkembang secara kuantitatif. Perlu pemikiran untuk lebih memberi warna kualitatif lewat penggembalaan yang lebih baik. Pemikiran ini membuahkan keputusan untuk memecah Paroki St. Ignatius menjadi dua wilayah besar. Ini terjadi pada 1 Oktober 1971, dimana umat di wilayah Kecamatan Magelang Utara mandiri sebagai paroki dengan nama Paroki Santa Maria Fatima. Romo A. MARTADIHARDJA, SJ, yang saat itu menjadi pastur Paroki St. Ignatius Magelang, sangat berperan dalam upaya pemekaran ini.

Kembang mekar selanjutnya juga terjadi di Paroki St. Ignatius sendiri, yang sampai dengan tahun 1983 dibagi menjadi tujuh wilayah penggembalaan : Magelang, Panjang, Rejowinangun, Tidar, Jurangombo, Kemirirejo, dan Cacaban. Semakin kecil dan sempitnya wilayah pastoral ini bukannya berarti juga memperkecil nyali dan mempersempit pola pandang umat dalam pengembangan iman. Justru semakin banyak umat yang tersapa lewat pelayanan dalam segala aspek. Demikian pula semakin banyak tumbuh benih-benih unggul yang sebetulnya berpotensi, namun belum sempat unjuk diri dalam partisipasi menggereja.

Upaya pemekaran ini semakin menyeruak seiring pemekaran wilayah pemerintahan dengan munculnya kelurahan-kelurahan baru. Kini Paroki St. Ignatius Magelang terbagi menjadi 13 wilayah penggembalaan. Penggembalaan semakin diefektifkan dengan membagi 13 Wilayah dalam 36 Lingkungan. Pembagian tersebut di luar stasi-stasi yang ada di lereng Gunung Sumbing, yang terdiri dari Dampit, Kajoran dan Kaliangkrik.


E. Yusuf Kusuma ( dari berbagai sumber )


KARISMATIK KATOLIK ST IGNATIUS MAGELANG 

Saturday, August 14, 2010, 03:10 - Profile Kelompok Kategorial Posted by Administrator
Kelompok Karismatik paroki St. Ignatius Magelang berdiri pada bulan Juli 1983 yang diprakarsai oleh almarhum bapak Ong Liang Siang dengan bimbingan romo Setiawan Gani, SJ. dan direstui oleh romo FX. Wiyono, Pr., yang saat itu sebagai romo paroki. Pertemuan – pertemuan dalam Kelompok Karismatik ini diadakan setiap hari Kamis minggu ke 2 dan ke 4 yang dimulai jam 16.00 dengan tempat berpindah – pindah. Dua bulan kemudian, tepatnya 12 September 1983 di paroki St. Ignatius Magelang mulai berdiri Persekutuan Doa Karismatik Katolik ( PDKK ) yang diprakarsai oleh almarhumah ibu Erna bersama teman – teman.

Awal tahun 1984 PDKK mulai diadakan di aula SMKK ( kini SMK ) Pius X Magelang pada setiap hari Senin sore dengan bimbingan Bruder Wiryo, SJ dan tim dari PD. Elisabeth Muntilan. Kemudian pada bulan Agustus 1984 berubah nama menjadi Persekutuan Doa Karismatik St. Agustinus yang dikoordinir oleh Almarhum bapak Ong Liang Siang.
Pada tanggal 13 Februari 1998 berdiri Persekutuan Doa Karismatik Katolik Santa Katarina yang diprakarsai oleh bapak Aedy Suyanto dan direstui oleh romo J. Sukardi,Pr yang ketika itu sebagai romo Paroki St. Ignatius Magelang. Kemudian pada awal tahun 2000, PD. Santa Katarina bergabung dengan PD. St. Ignatius.

Empat tahun kemudian PD. Ignatius dan PD. Agustinus mengadakan pertemuan bersama dan sepakat bergabung menjadi satu dengan nama PD. Agustinus dan Ignatius, dan pada kesempatan itu sekaligus dibentuk Badan Pelayanan Karismatik Katolik Paroki St. Ignatius Magelang.

Dengan bergabungnya dua PD Karismatik ini, maka sebagai Koordinator Badan Pelayanan Pembaharuan Karismatik Katolik Paroki St. Ignatius Magelang adalah bapak S. Pranawa Kasudarman dan koordinator Persekutuan Doa Karismatik Katolik Paroki St. Ignatius Magelang adalah bapak St. Aedy Suyanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar